Perang
Salib
Perang
Salib[2][3][4] adalah gerakan umat
Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim[5][6] di Palestina secara
berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk merebut Tanah Suci dari kekuasaan kaum Muslim
dan mendirikan gereja
dan kerajaan Latin di Timur.[7] Dinamakan Perang Salib,
karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda
salib pada bahu, lencana dan panji-panji mereka.[8]
Istilah
ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad
ke-16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani
untuk alasan campuran; antara agama, ekonomi, dan politik. Skema penomoran
tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama
Abad ke-11 sampai dengan Abad ke-13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor
berlanjut hingga Abad ke-16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di
Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.
Perang
Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan
daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling
bertukar ilmu pengetahuan.
Perang
Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial,
yang mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk
internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan
politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat)
bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota
Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang paling maju dan
kaya di benua Eropa saat itu. Perang Salib Keenam
adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh
preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan
perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik internal antara
kerajaan-kerajaan Muslim
dan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu faksi
melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan
Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima.
[sunting] Situasi
[sunting] Situasi di Eropa
Asal
mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di Eropa
Barat
sebelumnya pada Abad Pertengahan,
selain itu juga menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium
di timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan
stabilnya perbatasan Eropa
sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slavia, dan Magyar, telah membuat kelas
petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu
sama lain dan meneror penduduk setempat. Gereja berusaha untuk menekan
kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan Treuga Dei.
Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman selalu
mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka dan kesempatan untuk
memperluas daerah kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik. Pengecualiannya
adalah saat terjadi Reconquista
di Spanyol dan Portugal, dimana pada saat itu
ksatria-ksatria dari Iberia
dan pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang sebelumnya berhasil
menyerang dan menaklukan sebagian besar Semenanjung Iberia
dalam kurun waktu 2 abad dan menguasainya selama kurang lebih 7 abad.
Pada
tahun 1063, Paus Alexander II
memberikan restu kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk memerangi kaum Muslim. Paus memberikan baik
restu kepausan standar maupun pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh dalam
pertempuran tersebut. Maka, permintaan yang datang dari Kekaisaran Byzantium
yang sedang terancam oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua
orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar Michael VII
kepada Paus Gregorius VII
dan sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus
kepada Paus Urbanus II.
Perang
Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan keagamaan yang intens yang merebak
pada akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan
sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak
saat itu akan dianggap sebagai “tentara gereja”. Hal ini sebagian adalah karena
adanya Kontroversi
Investiture,
yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih berlangsung selama Perang Salib Pertama.
Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi
Investiture
berusaha untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat menjadi terlibat secara
pribadi dalam pertentangan keagamaan yang dramatis. Hasilnya adalah kebangkitan
semangat Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan. Hal
ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan
untuk mengambil kembali Tanah Suci – yang termasuk Yerusalem (dimana kematian,
kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut ajaran Kristen) dan
Antiokhia (kota Kristen yang
pertama) - dari orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor
penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa
pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di Neraka.
Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib tentang apa
sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa
dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga pada saat
mereka meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi adalah apa
sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu. Suatu teori
menyatakan bahwa jika seseorang gugur ketika bertempur untuk Yerusalemlah
“penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan
oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para
tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam
pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa
jika seseorang telah sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari
dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap
bisa masuk Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor
inilah yang memberikan dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama dan
kebangkitan keagamaan pada abad ke-12.
Situasi Timur Tengah
Keberadaan
Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan bangsa Arab terhadap Palestina dari tangan Kekaisaran
Bizantium pada abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak terlalu memengaruhi
penziarahan ke tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara
dan masyarakat Kristen di Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa
di Eropa
Barat
tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem–yang berada jauh di
Timur–sampai ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang
Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa Viking dan Magyar. Akan tetapi, kekuatan
bersenjata kaum Muslim Turki Saljuk yang berhasil memberikan tekanan yang kuat
kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen
Ortodoks Timur.[9]
Titik
balik lain yang berpengaruh terhadap pandangan Barat kepada Timur adalah ketika
pada tahun 1009, kalifah Bani Fatimiyah,
Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran
Gereja Makam Kudus
(Church of the Holy Sepulchre).[10] Penerusnya memperbolehkan
Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para
peziarah untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi, banyak laporan yang
beredar di Barat tentang kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen.
Laporan yang didapat dari para peziarah yang pulang ini kemudian memainkan
peranan penting dalam perkembangan Perang Salib pada akhir abad itu.
Penyebab langsung
Penyebab
langsung dari Perang Salib Pertama
adalah permohonan Kaisar Alexius I
kepada Paus Urbanus II
untuk menolong Kekaisaran Byzantium dan menahan laju invasi
tentara Muslim ke dalam wilayah
kekaisaran tersebut.[11][12] Hal ini dilakukan karena
sebelumnya pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Seljuk
yang dipimpin oleh Sulthan Alp Arselan
di Pertempuran Manzikert, yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit,
dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 40.000
orang, terdiri dari tentara Romawi,
Ghuz,
al-Akraj,
al-Hajr,
Perancis dan Armenia. Dan kekalahan ini
berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Katolik Barat
dengan gereja Ortodoks Timur,
Alexius I mengharapkan respon yang
positif atas permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan
hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi
kekuatan invasi yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut
kembali Yerusalem,
setelah Dinasti Seljuk dapat merebut Baitul
Maqdis
pada tahun 1078 dari kekuasaan dinasti Fatimiyah
yang berkedudukan di Mesir.
Umat Kristen merasa tidak lagi bebas beribadah sejak Dinasti Seljuk menguasai
Baitul Maqdis.
Ketika
Perang Salib Pertama
didengungkan pada 27 November 1095[13], para pangeran Kristen dari Iberia sedang bertempur untuk
keluar dari pegunungan Galicia
dan Asturia, wilayah Basque dan Navarre, dengan tingkat
keberhasilan yang tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa Moor Toledo kepada Kerajaan
León pada
tahun 1085 adalah kemenangan yang besar. Ketidakbersatuan penguasa-penguasa
Muslim merupakan faktor yang penting dan kaum Kristen yang meninggalkan para
wanitanya di garis belakang amat sulit untuk dikalahkan. Mereka tidak mengenal
hal lain selain bertempur. Mereka tidak memiliki taman-taman atau perpustakaan
untuk dipertahankan. Para ksatria Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di
lingkungan asing yang dipenuhi oleh orang kafir sehingga mereka dapat
berbuat dan merusak sekehendak hatinya. Seluruh faktor ini kemudian akan
dimainkan kembali di lapangan pertempuran di Timur. Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa Reconquista adalah kekuatan besar dari
karakter Castilia, dengan perasaan bahwa
kebaikan yang tertinggi adalah mati dalam pertempuran mempertahankan
ke-Kristen-an suatu Negara.
Perang
Perang Salib I
Pada
musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman[14], berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara
Salib yang
dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan
besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai
Raha (Edessa).
Di sini mereka mendirikan County
Edessa
dengan Baldwin sebagai raja. Pada tahun
yang sama mereka dapat menguasai Antiokhia dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya.
Mereka juga berhasil menduduki Baitul
Maqdis
(Yerusalem) pada 15 Juli 1099 M[15] dan mendirikan Kerajaan Yerusalem
dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul Maqdis itu, tentara Salib
melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County
Tripoli,
rajanya adalah Raymond.
Selanjutnya,
Syeikh Imaduddin Zengi
pada tahun 1144 M, penguasa Mosul
dan Irak, berhasil menaklukkan
kembali Aleppo, Hamimah,
dan Edessa.
Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin
Zengi.
Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada
tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Perang Salib II
Kejatuhan
County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib
kedua.[16][17] Paus
Eugenius III
menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII
dan raja Jerman Conrad II. Keduanya memimpin pasukan
Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju
mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zengi. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Conrad II
sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M.
Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti
Ayyubiyah
di Mesir tahun 1175 M, setelah
berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir. Hasil peperangan
Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah
beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran Hittin,
Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan Kerajaan
Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan demikian berakhirlah
Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Sehabis
Yerusalem, tinggal Tirus
merupakan kota besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu
dipimpin oleh Conrad dari Montferrat berhasil sukses dari
pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian
mundur dan menaklukan kota lain, seperti Arsuf
dan Jaffa
. Perang Salib III
.
Jatuhnya
Yerussalem ke tangan kaum Muslim
sangat memukul perasaan Tentara Salib. Mereka pun menyusun rencana balasan.
Selanjutnya, Tentara Salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa
raja Jerman, Richard si Hati Singa raja Inggris, dan Philip Augustus
raja Perancis memunculkan Perang Salib
III.[18] Pasukan ini bergerak pada
tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur
laut dan pasukan Barbarossa - saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa -
melalui jalur darat, melewati Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam di
sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip. Sebelum menuju Tanah Suci,
Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan Siprus.
Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil
merebut Akka yang kemudian dijadikan
ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik ke Perancis untuk
"menyelesaikan" masalah kekuasaan di Perancis dan hanya tinggal
Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak mampu memasuki Palestina lebih jauh, meski bisa
beberapa kali mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat
perjanjian antara Tentara Salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh
al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang
pergi berziarah ke Baitul Maqdis
tidak akan diganggu.[19]
Perang Salib IV
Pada
tahun 1219 M, meletus kembali peperangan yang dikenal dengan Perang Salib
periode keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederik II,
mereka berusaha merebut Mesir
lebih dahulu sebelum ke Palestina,
dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Koptik.
Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyath, raja Mesir dari Dinasti
Ayyubiyah
waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan
Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyath, sementara
al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick
tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan
berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M,
pada masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir
selanjutnya.
Ketika
Mesir dikuasai oleh Dinasti Mamalik
yang menggantikan posisi Dinasti Ayyubiyyah,
pimpinan perang dipegang oleh Baibars, Qalawun,
dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh
kaum Muslim tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur.
Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
Kondisi sesudah Perang Salib
Perang Salib Pertama
melepaskan gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan
dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan
tentara Salib melintasi Eropa
dan juga perlakuan kasar terhadap pemeluk Kristen
Ortodoks Timur. Kekerasan terhadap
Kristen Ortodoks ini berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun 1024, dimana
seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya serangan-serangan
terhadap orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen berupaya melindungi
orang Yahudi dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi seringkali
diberikan perlindungan di dalam gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan
tetapi, massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh mereka tanpa
pandang bulu.
Pada
abad ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi
di masyarakat. Sesudah kota Akka jatuh untuk terakhir
kalinya pada tahun 1291 dan sesudah penghancuran bangsa Ositania (Perancis
Selatan)
yang berpaham Katarisme
pada Perang Salib Albigensian, ide perang salib mengalami kemerosotan nilai
yang diakibatkan oleh pembenaran lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan
wilayah yang terjadi di Katolik Eropa.
Orde
Ksatria Salib mempertahankan wilayah adalah orde Ksatria Hospitaller.
Sesudah kejatuhan Akka yang terakhir, orde ini menguasai Pulau
Rhodes dan
pada abad ke-16 dibuang ke Malta.
Tentara-tentara Salib yang terakhir ini akhirnya dibubarkan oleh Napoleon Bonaparte
pada tahun 1798.
Peninggalan
Benua Eropa
Perang
Salib selalu dikenang oleh bangsa-bangsa di Eropa bagian Barat dimana pada masa
Perang Salib merupakan negara-negara Katolik Roma. Perang Salib juga
menimbulkan kenangan pahit.[20] Banyak pula kritikan pedas
terhadap Perang Salib di negara-negara Eropa Barat pada masa Renaissance.[21][22]
Politik dan Budaya
Perang
Salib amat memengaruhi Eropa pada Abad
Pertengahan.[23] Pada masa itu, sebagian
besar benua dipersatukan oleh kekuasaan Kepausan, akan tetapi pada abad
ke-14, perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari negara-bangsa modern) sedang pesat di Perancis, Inggris, Burgundi, Portugal, Castilia dan Aragon. Hal ini sebagian didorong
oleh dominasi gereja pada masa awal perang salib.
Meski
benua Eropa telah bersinggungan dengan budaya
Islam
selama berabad-abad melalui hubungan antara Semenanjung Iberia
dengan Sisilia, banyak ilmu pengetahuan
di bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur diserap dari dunia Islam ke
dunia Barat selama masa perang salib.
Pengalaman
militer perang salib juga memiliki pengaruh di Eropa, seperti misalnya,
kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari batu-batuan yang tebal dan
besar seperti yang dibuat di Timur, tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti
sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya
Eropa ke dunia, terutama Asia.
Bersama
perdagangan, penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan sains baru mencapai
timur atau barat. Kemajuan bangsa Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain lain mencapai
barat dan menambah laju perkembangan di universitas-universitas Eropa yang
kemudian mengarahkan kepada masa Renaissance pada abad-abad berikutnya.
Perdagangan
Kebutuhan
untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan balatentara yang besar menumbuhkan
perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan yang sebagian besar tidak pernah
digunakan sejak masa pendudukan Romawi, terlihat mengalami
peningkatan disebabkan oleh para pedagang yang berniat mengembangkan usahanya.
Ini bukan saja karena Perang Salib mempersiapkan Eropa untuk bepergian
akan tetapi lebih karena banyak orang ingin bepergian setelah
diperkenalkan dengan produk-produk dari timur. Hal ini juga membantu pada
masa-masa awal Renaissance di Itali, karena banyak negara-kota
di Itali yang sejak awal memiliki
hubungan perdagangan yang penting dan menguntungkan dengan negara-negara Salib, baik di Tanah Suci maupun kemudian di
daerah-daerah bekas Byzantium.
Pertumbuhan
perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang sebelumnya tidak
mereka kenal atau amat jarang ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang ini
termasuk berbagai macam rempah-rempah, gading, batu-batu mulia,
teknik pembuatan barang kaca yang maju, bentuk awal dari mesiu, jeruk, apel, hasil-hasil
tanaman Asia lainnya dan banyak lagi.
Keberhasilan
untuk melestarikan Katolik
Eropa, bagaimanapun, tidak dapat mengabaikan kejatuhan Kekaisaran Kristen
Byzantium, yang sebagian besar diakibatkan oleh kekerasan tentara Salib pada Perang Salib Keempat
terhadap Kristen Orthodox Timur, terutama pembersihan yang dilakukan oleh Enrico Dandolo
yang terkenal, penguasa Venesia
dan sponsor Perang Salib Keempat.
Tanah Byzantium adalah negara Kristen yang stabil sejak abad ke-4. Sesudah
tentara Salib mengambil alih Konstantinopel pada tahun 1204, Byzantium tidak
pernah lagi menjadi sebesar atau sekuat sebelumnya dan akhirnya jatuh pada
tahun 1453.
Melihat
apa yang terjadi terhadap Byzantium, Perang Salib lebih dapat digambarkan
sebagai perlawanan Katolik Roma
terhadap ekspansi Islam, ketimbang perlawanan Kristen secara utuh terhadap
ekspansi Islam. Di lain pihak, Perang Salib Keempat dapat disebut sebuah anomali.
Kita juga dapat mengambil suatu kompromi atas kedua pendapat di atas, khususnya
bahwa Perang Salib adalah cara Katolik Roma utama dalam menyelamatkan
Katolikisme, yaitu tujuan yang utama adalah memerangi Islam dan tujuan yang
kedua adalah mencoba menyelamatkan ke-Kristen-an, dalam konteks inilah, Perang
Salib Keempat dapat dikatakan mengabaikan tujuan yang kedua untuk memperoleh
bantuan logistik bagi Dandolo untuk mencapai tujuan yang utama. Meski begitu,
Perang Salib Keempat ditentang oleh Paus pada saat itu dan secara umum dikenang
sebagai suatu kesalahan besar.
Dunia Islam
Perang
salib memiliki efek yang buruk tetapi terlokalisir pada dunia Islam.[24] Dimana persamaan antara
“Bangsa Frank” dengan “Tentara Salib”
meninggalkan bekas yang amat dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan Saladin, seorang ksatria Kurdi, sebagai pahlawan Perang
Salib. Pada abad ke-21, sebagian dunia Arab, seperti gerakan kemerdekaan Arab
dan gerakan Pan-Islamisme
masih terus menyebut keterlibatan dunia Barat di Timur
Tengah
sebagai “perang salib”. Perang Salib dianggap oleh dunia Islam sebagai
pembantaian yang kejam dan keji oleh kaum Kristen Eropa.
Konsekuensi
yang secara jangka panjang menghancurkan tentang perang salib, menurut ahli
sejarah Peter Mansfield,
adalah pembentukan mental dunia Islam yang cenderung menarik diri. Menurut Peter
Mansfield,
“Diserang dari berbagai arah, dunia Islam berpaling ke dirinya sendiri. Ia
menjadi sangat sensitive dan defensive……sikap yang tumbuh menjadi semakin buruk
seiring dengan perkembangan dunia, suatu proses dimana dunia Islam merasa
dikucilkan, terus berlanjut.”
Komunitas Yahudi
Ilustrasi
dalam Injil Perancis dari tahun 1250 yang menggambarkan pembantaian orang
Yahudi (dikenali dari topinya yakni Judenhut)
oleh tentara Salib
Terjadi
kekerasan tentara Salib terhadap bangsa Yahudi[25][26][27] di kota-kota di Jerman dan Hongaria, belakangan juga terjadi
di Perancis dan Inggris, dan pembantaian Yahudi di
Palestina dan Syria menjadi bagian yang
penting dalam sejarah Anti-Semit,
meski tidak ada satu perang salib pun yang pernah dikumandangkan melawan
Yahudi. Serangan-serangan ini meninggalkan bekas yang mendalam dan kesan yang
buruk pada kedua belah pihak selama berabad-abad. Kebencian kepada bangsa Yahudi
meningkat.[28] Posisi sosial bangsa
Yahudi di Eropa Barat semakin merosot dan pembatasan meningkat selama dan
sesudah Perang Salib. Hal ini memuluskan jalan bagi legalisasi Anti-Yahudi
oleh Paus Innocentius III
dan membentuk titik balik bagi Anti-Semit abad pertengahan.
Periode
perang salib diungkapkan dalam banyak narasi Yahudi. Di antara narasi-narasi
itu, yang terkenal adalah catatan-catatan Solomon bar Simson dan Rabbi Eliezer
bar Nathan, “The Narrative of The Old Persecution” yang ditulis oleh Mainz
Anonymus dan “Sefer Zekhirah” dan “The Book of Remembrance” oleh Rabbi Ephrain
dari Bonn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar